DIBALIK HUJAN ADA PELANGI
by : Sepling Paling
Didedikasikan untuk : Siswa/Siswiku yang terkasih angkatan 2011 SMATRA
Hmmmm…….semuanya
berawal ketika saya menerima telepon dari pengurus Yayasan Bumi Maitri
Tanjungpinang. Tawaran itu membuatku “very
Excited”. Sebenarnya, ini bukanlah kali pertama saya mengawali karir di
dunia pendidikan sebagai tenaga pendidik.
Awal
semester telah dimulai, proses kenalanpun tak terhindarkan. Akhirnya saya
didaulat untuk memproklamirkan diri di depan teman-teman yang begitu asing
dengan berbagai karakter, bahasa, dan budaya yang tentunya berbeda. Namun dari
keberagaman itulah saya menyadari bahwa segala yang kita awali, khususnya di
tempat yang masih baru pasti membutuhkan proses atau adaptasi untuk mengenal
satu dengan yang lainnya dan sangat mensyukuri indahnya keberagaman itu.
Saat itu saya di tugaskan untuk mengajar di kelas VII dan
VIII. Bel masukpun berbunyi, lucunya saya memperkenalkan diri sendiri di depan
kelas tanpa didampingi siapapun. Mata para siswa seperti bertanya-tanya
seakan-akan ingin mengatakan “Siapa sih orang ini?”.
Sejenak kelas menjadi hening, tiba-tiba .. . ada suara
yang menghentak! oh….ternyata itu suara saya yang berusaha untuk memecahkan
keheningan. Seiring berjalannya waktu, kelaspun semakin kondusif dengan tawa,
canda, dan gurauan yang sekali-kali dan menggaung di telinga dan memecahkan
kekakuan di antara kami.
Seiring berjalannya waktu, berbagai pengalaman saat
mengajar bahkan pada saat-saat santai di kantin sekolah ataupun di koridor
kelas ketika sedang berpapasan dengan siswa. Dengan pengalaman yang segudang
itu, saya boleh berbangga, karena pengalaman-pengalaman tersebut merupakan
pengalaman yang sangat berharga. Dapat mengajar di tempat yang begitu unik bagi
saya merupakan pengalaman yang begitu berharga. Apalagi ketika saya mulai
memasuki kelas satu per satu, saya merasa banyak karakter siswa yang harus saya
pelajari. Keberagaman karakter di setiap kelas membuat saya semakin tertantang
untuk tetap tinggal dan lebih mengenal mereka.
Enam bulan berlalu saya mengajar di tingkat SMP, namun
sejuta kesan yang saya dapatkan. Entah itu dari keluh kesah tentang perlakuan orang
tua mereka, tentang pengajar yang lain, tentang mereka yang baru mulai mengenal
cinta, dan masih banyak lagi masalah-masalah yang lainnya yang seakan-akan
menarik kita untuk tetap tinggal bercerita dan mendengarkan mereka bak anak
kecil yang meminta sesuatu ke orang tuanya.
Sebenarnya pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan yang
luar biasa dan sangat diberkati. Bagaimana
tidak? semua perkataan, tingkah laku kita akan diperhatikan oleh anak didik
kita. Seorang pendidik yang benar-benar memiliki karakter pendidik sebaiknya
memperhatikan setiap titik dari anak didik terutama hati mereka. Ketika kita
bisa mendengarkan mereka dan menyentuh hati mereka maka secara otomatis mereka
akan mendengarkan
setiap kata yang kita ucapkan. Nah, itu sebagian kecil pelajaran yang saya
dapatkan ketika mengajar mereka.
Baik, mari saya lanjutkan lagi cerita pengalaman
saya…………..
“waoow!”
hanya kata itu yang bisa terucap dari bibirku, karena tak terasa tahun
pelajaran baru dimulai lagi. Nah kali ini saya dipindahtugaskan ke divisi yang
lain. Ada cletukan anak muda sekarang mengatakan seperti ini “Masalah buat loe?” Hm…….kalau menurut
saya sih, “not problem” alias “gak
masalah banget” kata anak gaul sekarang, heheheee……
Saya
merasa sangat bersyukur ditugaskan di divisi yang lain karena pengalaman yang
saya dapatkan tidak kalah berharganya dibanding dengan divisi yang sebelumnya. Disini saya bisa
lebih menganal karakter mereka yang begitu beragam. Ada yang cerdas
secara verbal tetapi di saat kegiatan olah raga seperti bertemu dengan sesuatu
yang begitu berat. Sebaliknya ada yang sangat menyukai olah raga, tetapi saat
harus presentasi serasa semua kosa kata yang dimiliki hilang dan susah
berbicara. Ada juga yang cerdas secara visual sehingga ketika bertemu dengan
guru yang mengajar dengan teknik menjelaskan bak mendengarkan radio rusak yang
tidak jelas. Ada anak yang hanya tertarik pada angka sehingga saat berhadapan
dengan pengetahuan sosial membuat kening berkerut dan menggaruk-garuk kepala.
Ada anak yang selalu ingin explorasi seharian dan tidak betah di ruang kelas
karena ia termasuk anak berkebutuhan khusus (hiperaktif). Ada juga yang bermasalah dengan kalimat-kalimat yang
kurang sempurna diucapkan karena kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang.
Terakhir, ada siswa yang bermasalah dengan cara berbicara yang begitu kasar dan
tidak sopan.
Dengan kondisi keberagaman tersebut,
seorang guru tanpa latar belakang pendidikan psikologi pasti akan mendapatkan
ilmu yang sangat berharga. Apalagi ditempatkan di sekolah yang sangat kental
dengan budaya Tionghoa dengan bawaan karakter masing-masing dan juga pada
umumnya mereka yang belajar di sekolah ini berlatar belakang sosial yang
berbeda-beda. Ada yang tingkat kemampuan finansial tinggi tetapi ketika
bersosialisasi dengan teman sekolahnya kurang mendapat respon yang baik karena
sangat menggampangkan dan meremehkan. Sebaliknya ada yang dari keluarga yang
biasa-biasa saja bahkan kurang mampu tetapi dalam pergaulan dengan
teman-temanya sangat disenangi. Ada juga yang latar pendidikan orang tua yang
tidak pernah mengenal yang namanya sekolah. Namun ada juga yang orang tuanya
sarjana.
Dengan demikian, dibutuhkan sebuah
sistem pendidikan yang inovatif, kreatif, dan sumber daya pengajar yang berani
berbeda dan open minded dengan segala informasi. Apalagi sekarang sistem
pendidikan semakin di sempurnakan sejalan dengan perkembangan anak didik. Dari
berbagai kajian ditetapkan bahwa pendidikan yang sangat cocok untuk saat ini
adalah pendidikan karakter. Why?
Yahhhh......karena seperti yang kita lihat saat ini tidak jarang anak didik
kita terlibat dalam tawuran, penyalahgunaan NAPZA, seks bebas, dan berbuat
sesuka hati di sekolah (kalau orang jawa bilang sih, “Sak kareppe dewe”).
Karakter itu sendiri adalah penerapan nilai-nilai yang
melandasi prilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan,
hukum/konstitusi, adat istiadat dan estetika. Jadi, Pendidikan berkarakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga
sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai baik, yaitu terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia
insan kamil. Hal ini sejalan dengan visi dan misi sekolah Maitreyawira untuk
mejadikan manusia yang sejati, bajik, dan indah.
Yuk kita
lanjutkan lagi..........,
Pengajar yang sangat beruntung ini, secara tidak langsung
memperoleh pelajaran yang begitu berharga khususnya dalam hal mengenal berbagai
karakter anak didik yang hanya bisa didapatkan dari perkuliahan Psikologi
Pendidikan. Dengan mengajar di sekolah yang penuh dengan keberagaman ini,
seakan-akan saya kuliah di jurusan Psikologi dan Kesehatan.
Pernah suatu masa ketika saya sedang
mengajar ada seorang anak yang begitu polosnya tapi juara kelas bertanya
demikian “Laoshi (sebutan untuk
seorang guru dalam bahasa Mandarin), Bagaimana ya caranya bayi yang begitu
besar bisa keluar dari organ reproduksi ibu kita?” Sontak kelas menjadi ramai
dengan cekikikan dan tawa yang tertahan. Saya pun mengerutkan kening dan
berkata “Waooow” pertanyaan yang
begitu polos dan luar biasa. Namun sebagai seorang pendidik sebaiknya
memberikan penjelasan yang logis dan masuk akal. Sebagai guru biologi,
pertanyaan ini tidak begitu sulit untuk dijawab.
Beda halnya dengan siswa yang lainnya.
Sebut saja dia “S” yang begitu cerewet, aktif, selalu ingin tampil beda, dan
kerjanya cuma mengkritik guru dan teman-temannya. Namun memiliki sifat sosial
yang tinggi terhadap teman-temannya dan guru-gurunya. Karena kelincahan dan
inisiatif yang tinggi tak jarang membuat guru-guru dan teman-temannya bangga
dan senang. Selain itu dia juga kreatif dan idealis. Satu hal yang sangat
tertanam di otak saya, yaitu si “S” merupakan calon-calon profokator yang
handal.
“Lain
padang lain belalang” itulah pepatah tua katanya. Lain siswa lain pula
kelakukannya. Ada si “JK” dalam setiap pelajaran pasti ada-ada saja gerak gerik
dia yang lucu dan menggemaskan. Tak jarang pula, melontarkan
celetukan-celetukan yang tidak senonoh sehingga membuat guru yang mengajar saat
itu menjadi jengkel bercampur rasa ingin tertawa dengan sikapnya itu. Mau marah
tetapi lucu, mau tertawapun tetapi menjengkelkan. Huuuhh....sungguh luar biasa !
Nah yang satu ini sangat berbeda. Kita
beri sebutan saja si “Waoow” karena
begitu bedanya dengan yang lain, heheheheee........
Sebenarnya dia cerdas dalam segala hal kecuali dalam hal
hitung-hitungan. Setiap kali saya mengajar pasti seabrek pertanyaan sudah
disiapkan. Selain itu, otaknya penuh dengan pengetahuan-pengetahuan dunia luar
(alias perkembangan IPTEK luar negeri). Sempat saya berfikir “Hm....anak ini bak jendela dunia” jadi, saya tidak usah repot-repot untuk browsing di Mbah Google. Dia periang namun sangat bermasalah dengan kata-kata yang
diungkapkan ketika berbicara dengan orang lain. Selain itu, sikapnya ketika
dalam kelas sangat menjengkelkan guru-gurunya. Tak jarang ketika guru sudah
keluar dari kelas mengeluhkan sikap dia. Saya merasa ada yang beda dengan
perkembangan anak ini. Akhirnya saya berusaha untuk mendekati secara personal dan
tidak membutuhkan waktu yang begitu lama untuk mengenal dan mengorek data
seputaran kehidupannya dan keluarganya. Memang sangat tidak disangka-sangka
banyak hal yang ia lalui dengan penuh perjuangan. Berusaha untuk menyembunyikan
kesedihannya dengan bersikap seperti anak yang periang dan selalu membuat orang
lain tertawa. Namun dibalik semuanya itu tersimpan kesedihan yang mendalam yang
begitu sakit untuk diceritakan. Satu kebanggan tersendiri yang saya rasakan
bahwa si “Waoow” ini bisa bertahan
sampai sekarang dengan kondisi yang baik-baik saja tanpa terpengaruh dengan
pergaulan-pergaulan yang tidak baik.
Pernah suatu sore ketika kami sedang
makan bersama, tiba-tiba dia terdiam dan sesaat kemudian dia menunjuk ke arah
seberang meja dan berkata “Laoshi,
lihat mereka begitu bahagianya bisa makan bersama dengan orang tuanya,
sedangkan AKU..... ? aku hanya bisa melakukan semuanya dengan sendirian”. Ayah
sudah meninggal beberapa tahun yang lalu sedangkan Mama saya tinggal dengan
keluarga yang baru di negeri seberang yang jauh di sana, katanya dengan nada
yang sangat pelan dan terbata-bata. Saat itulah saya mulai memahami, mengapa
dia bersikap demikian terhadap guru-gurunya bahkan terhadap teman-temannya.
Finally, saya merasa banyak hal yang harus saya lakukan untuk
memperbaiki dan membina anak-anak yang begitu beragam dengan permasalahan
mereka masing-masing. Karena saya merasa kitalah yang bertanggungjawab dan
harus melakukan semuanya ini “Kalau bukan
kita siapa lagi?”. Dengan menghela nafas yang panjang, saya terdiam sejenak
dan memikirkan semuanya ini. Banyak hal yang harus dibenahi untuk mewujudkan
pendidikan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Seperti yang tertuang dalam UU Sistem
Pendidikan nasional No 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan
nasional berfungsi: “Mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebenarnya untuk mewujudkan semuanya
ini sangatlah mudah, hanya dibutuhkan kemauan, kerja keras dan kerjasama dari
berbagai pihak untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Seorang pendidik yang mendidik sebaiknya dapat mengerti
dan memahami setiap permasalahan yang dihadapi oleh anak didik, bukan hanya
dalam akademis namun juga dalam hal afektif (sikap/karakter) mereka. Banyak
pendidik yang terpanggil untuk mendidik namun hanya sebagian kecil saja yang
terpilih. Mendidik bukanlah pekerjaan yang hanya dijadikan sebagai ladang untuk
mencari uang, tetapi juga merupakan ladang untuk menabur benih-benih kebaikan,
suka cita, dan pembentukan karakter sehingga kita dapat menuai hasil yang baik
sesuai dengan yang kita inginkan. Seperti ada kalimat yang selalu menjangkiti
pikiran saya “Apa yang kita tabur, maka itulah
yang akan kita tuai”. Dengan demikian, sebagai pendidik sebaiknya menyadari
akan tugas dan tanggungjawab kita sebagai pendidik yang sebenarnya, bukan hanya
karena keterpaksaan menjadi pendidik, namun karena kerinduan kita dan
kepedulian kita akan dunia pendidikan bagi anak didik sebagai generasi penerus
tongkat estafet pemerintahan bangsa Indonesia.
Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan yang mulia dan
luar biasa. Jangan pernah menganggap mengajar sebagai suatu beban tetapi
anggaplah mengajar itu suatu berkat dan panggilan jiwa. Jika ada kemauan pasti
ada jalan untuk mengatasi semua itu. “Ketuklah
pintu maka akan dibukakan bagimu” kata orang bijak. Ketika kita mau
menerima keberagaman itu dan menjadikannya suatu kelebihan dan keunggulan, maka
saya yakin dan percaya tidak akan ada lagi pertikaian, tawuran, kejengkelan,
kedongkolan, dan lain sebagainya. Di balik semua permasalahan yang kita hadapi
ada buah-buah kebaikan yang akan kita tuai, mungkin bukan pada saat ini, tapi
di masa yang akan datang karena menjadi yang terbaik butuh proses yang panjang
dan jadi yang terindah juga butuh penempaan.
Untuk mencapai semuanya ini dibutuhkan keikhlasan,
kesabaran, kasih, dan pengorbanan dalam berbagai hal. Yakinlah bahwa “Dibalik
Hujan Ada Pelangi”. Seperti seorang bijak pernah berkata “Perbuatlah segalanya dengan KASIH, karena
kasih itu universal, lemah lembut, murah hati, memaafkan, dan panjang sabar.”
Jangan pernah takut dikecewakan karena “Kecewa
itu biasa tapi tetap memberkati meski dikecewakan itu luar biasa”. “Memaafkan itu biasa tapi memaafkan meskipun
disakiti berkali-kali itu luar biasa”. Memberi
itu biasa tapi memberi dengan penuh pengorbanan itu luar biasa. Bersyukur itu
biasa tapi tetap bersyukur ketika tidak punya apa-apa itu luar biasa”. Ketika anda terjatuh, bangkitlah, tidak masalah
berapa kali anda terjatuh yang terpenting adalah berapa kali anda bangkit setelah
anda terjatuh”.
Banyak orang yang ingin seperti lilin, menjadi terang
dalam kehidupannya, tapi enggan untuk dibakar. Banyak orang ingin hidupnya
berbuah, agar menjadi berkat, tapi ogah untuk dipangkas ranting-rantingnya dan banyak
yang hanya sebatas ingin, ingin dan ingin tanpa ada kerendahan hati. Dibakar, dipangkas memang sakit, tapi justru
sakit itulah sebenarnya yang benar-benar dapat membentuk karakter anak didik
kita.
Nah......,itulah sejuta kisah
pengalaman yang saya dapatkan selama mengajar walaupun saya masih terbilang
baru di divisi ini. Dengan pengalaman tersebut, saya belajar satu hal; ketika
pendidikan didukung sikap saling berbagi dan terbuka maka, apa yang menjadi
tujuan mulia pendidikan akan lebih terbuka jalannya. Tidak peduli di negara
mana kita sekolah, terutama bagi peletakan batu pertama pendidikan di tingkat sekolah
dasar. Anak-anak bagaikan kertas putih, kita adalah pemegang tinta yang harus
selalu menorehkan kebaikan untuk masa depan mereka yang cemerlang. Mari, kita
bentuk anak didik kita menjadi insan kamil yang memiliki “Bright Heart, Bright Mind, Bright Future.
Seorang
bijak pernah berkata :
Mereka
yang dapat memberi tanpa mengingat, dan menerima tanpa melupakan akan
diberkati.
Dalam
kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi kita
dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.
Kadang kasih itu membiarkan,
tapi sesungguhnya peduli
Seakan sembunyi, tapi sesungguhnya selalu mengawasi
Seakan menjauh, tapi
sesungguhnya dekat
Seakan tidak memperhatikan,
tapi sesungguhnya penuh perhatian
Terkadang Tuhan menyembunyikan
matahari dan memunculkan petir dan hujan,
karena Dia ingin menerbitkan
pelangi
Terkadang Tuhan tidak menjawab
doa-doa yang baik menurut kita,
karena Tuhan telah sediakan
yang jauh lebih baik dari yang kita doakan
Tuhan izinkan kesulitan agar
kita belajar jadi kuat.
Tuhan ijinkan kesulitan agar
kita menjadi bijak.
Tuhan ijinkan rintangan agar
kita menjadi berani.
Tuhan hadirkan orang-orang
dalam kesulitan
untuk kita bantu agar kita
belajar mengasihi.
“SELAMAT BERKARYA DALAM MEMBENTUK INSAN-INSAN YANG
BERKARAKTER DAN TERBERKATI”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar